Misalkan anda membeli saham Semen Baturaja (SMBR) di harga Rp 600. Dasar lagi apes, SMBR perlahan-lahan turun. Sebulan kemudian SMBR bertengger di harga Rp 450.
Posisi anda di atas kertas rugi, tapi anda belum berminat menjual saham ini.
"Selama belum aku jual berarti belum rugi," kata anda dalam hati menghibur diri sendiri.
Justifikasi anda adalah sebagai berikut: kalau belum dijual, saham masih bisa naik lagi. Jadi, sebelum saham dijual, tidak bisa dibilang sudah rugi.
Benarkah logika tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat skenario berikut.
Katakan saja Dian, putri anda tercinta* yang berusia 10 tahun menderita demam 40� C. Karena demam tak kunjung turun, anda membawa Dian ke rumah sakit. Dokter ahli langsung memberi obat dan infus dan mengharuskan Dian dirawat-inap.
* (Kalau anda tidak punya putri, coba bayangkan putra anda. Tidak punya juga? Coba bayangkan seseorang yang sangat anda kasihi, misalkan istri atau suami anda, ibu atau ayah anda, kakak atau adik anda, pacar, anjing atau kucing atau burung peliharaan anda. Pokoke seseorang atau sesuatu yang sangat anda cintai.)
Pada pagi hari ketiga Dian dirawat-inap, ketika anda sedang membeli secangkir kopi di kantin rumah sakit setelah menunggui Dian semalam suntuk, telepon genggam anda berdengung.
"Pak, saya suster Melda," kata suara di sisi lain telepon. "Mohon segera datang ke ruangan Dian."
Anda campakkan cangkir kopi di meja dan langsung berlari ke lantai 3 rumah sakit, ke ruangan di mana Dian dirawat.
Hal pertama yang anda lihat adalah istri anda meraung-raung di pinggir kasur Dian. Suster Melda dan suster Hani, juga dokter Syahrial berdiri diam.
"Ada apa?" kata anda sambil bergantian memandangi Dian, lalu istri anda, lalu dokter Syahrial.
"Segala upaya sudah kami lakukan," kata dokter Syahrial. "Maaf sedalam-dalamnya, Pak. Putri anda...sudah berpulang."
Anda memelototi sosok Dian di tempat tidur. Jantung anda berdetak sepuluh kali per detik, bibir anda kering.
"Berpulang gimana?" tanya anda. Anda tahu artinya "berpulang" tapi tidak mungkin si putri tercinta "berpulang."
"Maaf, Pak," kata suster Melda. "Dian sudah wafat."
"Tidak. Tidak mungkin. Apa buktinya?"
"Denyut jantung Dian sudah berhenti sepuluh menit, Pak," kata dokter Syahrial.
"Tidak. TIDAK," kata anda. "Dian belum mati. Selama ia belum dikubur, berarti ia belum mati. BELUM MATI."
Lah?
Nah, menurut anda masuk akalkah argumen bahwa selama Dian belum dikubur, berarti ia belum mati. Padahal ia sudah tidak bernafas, padahal jantungnya sudah berhenti berdenyut. Betapapun besar cinta anda pada Dian tidak akan merubah fakta bahwa ia sudah tidak bernyawa.
Sudah anda pikirkan?
Coba anda bandingkan dengan logika bahwa saham yang sudah turun tapi belum dijual berarti belum rugi.
Hanya karena belum anda kubur, tidak berarti Dian belum mati.
Hanya karena (saham yang turun) belum anda jual, tidak berarti anda belum rugi.
Jual ataupun belum, faktanya adalah harga saham sekarang di bawah harga beli. Apakah anda berniat menjual atau tidak, tidak merubah fakta bahwa pada saat itu anda rugi.
Reaksi menyatakan belum rugi kalau belum dijual adalah reaksi normal pemain saham, baik pemula ataupun veteran. Intinya, hampir semua orang tidak mau mengaku salah. Belum jual berarti belum rugi. Belum jual berarti belum salah.
Tapi, kalau belum jual, kata anda, saham masih bisa naik lagi kan.
Betul. Tidak salah.
Tapi saham juga bisa turun lebih dalam lagi. Sudahkan anda memikirkan kemungkinan ini?
Jadi, bagaimana seharusnya anda menyikapi saham yang harganya turun jauh di bawah harga beli?
Anda harus menganggap SUDAH RUGI.
Perhatikan: Saya tidak mengharuskan anda untuk menjual saham yang sudah rugi ini. Silahkan saja kalau anda tetap bersikeras tidak mau jual. Saya tidak berhak memaksa anda.
Tapi satu hal yang saya haruskan anda lakukan: terimalah fakta, walaupun faktanya pahit. Jangan bersembunyi di dunia khayal. Kalau harga saham turun, artinya sudah rugi. Tidak peduli apakah sudah dijual atau belum.
Mengapa harus menganggap sudah rugi?
Menganggap SUDAH RUGI berarti anda mengaku salah. Dan hanya dengan mengaku salah anda bisa belajar dari kesalahan tersebut. Dengan belajar dari kesalahan ini, lambat-laun anda akan makin paham cara main saham yang menguntungkan.
Jadi, tanyakan sekali lagi ke diri anda sendiri: kalau saham yang anda beli turun, tapi belum dijual, apakah sudah rugi atau belum?
Kalau anda setuju bahwa saham turun berarti sudah rugi, bagaimana langkah selanjutnya untuk saham ini? Silahkan baca pos "Saham Turun, Sudah Rugi. Harus Bagaimana?" [Belum terbit. Mohon berkunjung kembali.]
Pos-pos yang berhubungan:
Posisi anda di atas kertas rugi, tapi anda belum berminat menjual saham ini.
"Selama belum aku jual berarti belum rugi," kata anda dalam hati menghibur diri sendiri.
Justifikasi anda adalah sebagai berikut: kalau belum dijual, saham masih bisa naik lagi. Jadi, sebelum saham dijual, tidak bisa dibilang sudah rugi.
Benarkah logika tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat skenario berikut.
Katakan saja Dian, putri anda tercinta* yang berusia 10 tahun menderita demam 40� C. Karena demam tak kunjung turun, anda membawa Dian ke rumah sakit. Dokter ahli langsung memberi obat dan infus dan mengharuskan Dian dirawat-inap.
* (Kalau anda tidak punya putri, coba bayangkan putra anda. Tidak punya juga? Coba bayangkan seseorang yang sangat anda kasihi, misalkan istri atau suami anda, ibu atau ayah anda, kakak atau adik anda, pacar, anjing atau kucing atau burung peliharaan anda. Pokoke seseorang atau sesuatu yang sangat anda cintai.)
Pada pagi hari ketiga Dian dirawat-inap, ketika anda sedang membeli secangkir kopi di kantin rumah sakit setelah menunggui Dian semalam suntuk, telepon genggam anda berdengung.
"Pak, saya suster Melda," kata suara di sisi lain telepon. "Mohon segera datang ke ruangan Dian."
Anda campakkan cangkir kopi di meja dan langsung berlari ke lantai 3 rumah sakit, ke ruangan di mana Dian dirawat.
Hal pertama yang anda lihat adalah istri anda meraung-raung di pinggir kasur Dian. Suster Melda dan suster Hani, juga dokter Syahrial berdiri diam.
"Ada apa?" kata anda sambil bergantian memandangi Dian, lalu istri anda, lalu dokter Syahrial.
"Segala upaya sudah kami lakukan," kata dokter Syahrial. "Maaf sedalam-dalamnya, Pak. Putri anda...sudah berpulang."
Anda memelototi sosok Dian di tempat tidur. Jantung anda berdetak sepuluh kali per detik, bibir anda kering.
"Berpulang gimana?" tanya anda. Anda tahu artinya "berpulang" tapi tidak mungkin si putri tercinta "berpulang."
"Maaf, Pak," kata suster Melda. "Dian sudah wafat."
"Tidak. Tidak mungkin. Apa buktinya?"
"Denyut jantung Dian sudah berhenti sepuluh menit, Pak," kata dokter Syahrial.
"Tidak. TIDAK," kata anda. "Dian belum mati. Selama ia belum dikubur, berarti ia belum mati. BELUM MATI."
Lah?
Nah, menurut anda masuk akalkah argumen bahwa selama Dian belum dikubur, berarti ia belum mati. Padahal ia sudah tidak bernafas, padahal jantungnya sudah berhenti berdenyut. Betapapun besar cinta anda pada Dian tidak akan merubah fakta bahwa ia sudah tidak bernyawa.
Sudah anda pikirkan?
Coba anda bandingkan dengan logika bahwa saham yang sudah turun tapi belum dijual berarti belum rugi.
Hanya karena belum anda kubur, tidak berarti Dian belum mati.
Hanya karena (saham yang turun) belum anda jual, tidak berarti anda belum rugi.
Jual ataupun belum, faktanya adalah harga saham sekarang di bawah harga beli. Apakah anda berniat menjual atau tidak, tidak merubah fakta bahwa pada saat itu anda rugi.
Reaksi menyatakan belum rugi kalau belum dijual adalah reaksi normal pemain saham, baik pemula ataupun veteran. Intinya, hampir semua orang tidak mau mengaku salah. Belum jual berarti belum rugi. Belum jual berarti belum salah.
Tapi, kalau belum jual, kata anda, saham masih bisa naik lagi kan.
Betul. Tidak salah.
Tapi saham juga bisa turun lebih dalam lagi. Sudahkan anda memikirkan kemungkinan ini?
Jadi, bagaimana seharusnya anda menyikapi saham yang harganya turun jauh di bawah harga beli?
Anda harus menganggap SUDAH RUGI.
Perhatikan: Saya tidak mengharuskan anda untuk menjual saham yang sudah rugi ini. Silahkan saja kalau anda tetap bersikeras tidak mau jual. Saya tidak berhak memaksa anda.
Tapi satu hal yang saya haruskan anda lakukan: terimalah fakta, walaupun faktanya pahit. Jangan bersembunyi di dunia khayal. Kalau harga saham turun, artinya sudah rugi. Tidak peduli apakah sudah dijual atau belum.
Mengapa harus menganggap sudah rugi?
Menganggap SUDAH RUGI berarti anda mengaku salah. Dan hanya dengan mengaku salah anda bisa belajar dari kesalahan tersebut. Dengan belajar dari kesalahan ini, lambat-laun anda akan makin paham cara main saham yang menguntungkan.
Jadi, tanyakan sekali lagi ke diri anda sendiri: kalau saham yang anda beli turun, tapi belum dijual, apakah sudah rugi atau belum?
Kalau anda setuju bahwa saham turun berarti sudah rugi, bagaimana langkah selanjutnya untuk saham ini? Silahkan baca pos "Saham Turun, Sudah Rugi. Harus Bagaimana?" [Belum terbit. Mohon berkunjung kembali.]
Pos-pos yang berhubungan:
- Cara Cut-Loss Untuk Stop Kerugian Saham
- Cara Main Saham Untuk Pemula: Setelah Beli
- Cara Melakukan Cut-Loss Saham
- Beli Saham. Jual Untung/Cut-Loss. Ulangi.
- Jack Schwater Tentang Kesamaan Market Wizards
Comments
Post a Comment