Pos ini adalah lanjutan dari pos "Dampak Perubahan Satuan Lot & Fraksi Harga Saham (Bagian 1)."
Sekarang saatnya kita membahas hal yang lebih ruwet, perubahan fraksi harga saham dan dampaknya bagi pemain saham.
Perubahan Fraksi Harga
Tindakan Bursa Efek Indonesia merubah kelompok harga dari 5 kelompok (dan 5 fraksi harga) menjadi 3 kelompok (dan 3 fraksi harga) secara langsung mempersempit "spread" (perbedaan) harga. Dengan kata lain: jenjang harga kelompok harga baru akan lebih sempit dibandingkan dengan jenjang harga kelompok harga lama.
Agar lebih jelas, mari kita bandingkan persentase lompatan (jenjang) harga kelompok harga lama dan kelompok harga baru.
Jenjang harga pada kelompok harga lama adalah sebagai berikut:
50 ke 51 = 2%
200 ke 205 = 2.5%
500 ke 510 = 2%
2000 ke 2025 = 1.25%
5000 ke 5050 = 1%
Jenjang harga pada kelompok harga baru:
50 ke 51 = 2%
200 ke 201 = 0.5% (masih termasuk kelompok harga < 500)
500 ke 505 = 1%
2000 ke 2005 = 0.25% (masih termasuk kelompok harga <5000)
5000 ke 5025 = 0.5%
Anda bisa melihat bahwa�secara umum�lompatan harga (dalam persentase) pada kelompok harga baru lebih kecil daripada pada kelompok harga lama.
Apa artinya bagi anda (dan saya)?
Artinya pada kelompok harga baru, anda (mungkin) bisa membeli saham LEBIH MURAH dan (mungkin) bisa menjual saham LEBIH MAHAL dibandingkan pada kelompok harga lama.
Masa iye, sih, pikir anda dalam hati.
Ilustrasi berikut akan memperjelas pernyataan di atas.
Misalkan Cecep mau membeli beras dan pergi ke pasar Lomo. Tiba di pasar Lomo, Cecep melihat sederetan toko beras di dekat gerbang pasar. Cecep menghampiri Tancu, toko beras yang menempati 8 kios tapi kelihatan sesak karena penuh dengan beras berkarung-karung.
"Ko, beras rojolele satu kilo berapa?" tanya Cecep.
"10.000," jawab ko Akong, si empunya toko.
"Kurangin dong, ko."
"Kalau ambil banyak, 9.500," jawab ko Akong sambil mengibas-ngibaskan koran ke wajahnya mengusir hawa panas.
"9.200 boleh, ko?" kata Cecep berusaha menawar.
"Gak bisa lah. Di pasar ini, harga beras harus dalam kelipatan 500."
"Lho, kok gitu?" kata Cecep sambil menggaruk-garuk kepala (yang memang gatal karena banyak ketombenya).
"Iya," jawab ko Akong. " Memang aturannya begitu. Harga beras di sini sekilo harus kelipatan 500. Kalau lebih murah dari 9.500 berarti owe harus jual 9.000. Rugi lah. 9.500 udah murah kok."
Cecep makin bingung; makin keras ia menggaruk kepalanya.
Setelah mengucapkan terima kasih Cecep mampir ke toko beras lain di pasar Lomo. Semua sama saja: Harga termurah tetap 9.500, harga beras harus dalam kelipatan 500, dan tidak ada toko yang mau jual di harga 9.000. Makin keras Cecep menggaruk kepalanya.
Sebelum rambutnya rontok lebih banyak, Cecep memutuskan untuk mengunjungi pasar Waru yang lokasinya sekitar 800 meter dari pasar Lomo. Sampai di pasar Waru, Cecep menghampiri toko beras Wangi. Tokonya relatif kecil tapi terlihat rapi dan bersih.
"Bu, beras rojolele sekilo berapa?" tanya Cecep pada penjaga toko.
"Rojolele? 9.500 sekilonya," jawab si ibu.
"9.000 boleh, bu?" kata Cecep.
"Belum bisa, dik. 9.400 deh, udah murah."
"9.150 ya?"
"Gak bisa, dik. 9.400 udah murah kok. Lagipula harga beras di pasar ini harus dalam kelipatan 100," kata si ibu.
"Ooo...," kata Cecep dengan bibir memancung, tangan kanannya mengusap kening, tangan kiri mengelus dada. Kening dan dadanya sendiri tentu saja. Bukan kening dan dada ibu penjaga toko. Lanjutnya, "Kalau gitu, 9.200 ya bu."
"Habisnya 9.300 deh, penglaris."
Cecep tidak habis pikir. Di pasar Lomo tawar-menawar harus dalam kelipatan 500; di pasar Waru kelipatan 100. Tapi Cecep cukup puas dengan harga 9.300 dan membeli beras rojolele sebanyak 10 kilogram.
Pertanyaan saya untuk anda: kalau misalkan anda adalah si Cecep, anda memilih membeli beras di pasar Lomo atau pasar Waru?
Saya yakin anda akan memilih membeli beras di pasar Waru yang memakai kelipatan harga 100 karena�seperti Cecep�anda (kemungkinan besar) bisa membeli beras lebih murah daripada di pasar Lomo yang memakai kelipatan harga 500.
Nah, kalau kita bandingkan ilustrasi di atas dengan transaksi saham, proses tawar-menawar di pasar Lomo adalah seperti transaksi saham dengan kelompok harga lama; proses tawar-menawar di pasar Waru adalah seperti transaksi saham dengan kelompok harga baru. Kalau dulu membeli saham harus di harga 200 atau 205, sekarang anda bisa beli di harga 200, 201, 202, 203, 204, atau 205.
Anda sekarang mengerti bahwa mengecilnya kelipatan/jenjang harga membuka peluang pembentukan harga yang lebih baik untuk pembeli dan penjual. Pembentukan harga yang lebih baik ini diharapkan akan membuat pasar lebih efisien.
Tapi, kalau fraksi harga baru lebih menguntungkan untuk pembeli dan juga membuat pasar lebih efisien, kenapa banyak pemain saham lama yang protes?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita kembali ke ilustrasi di atas dan melihat dari sudut pandang Akong, pedagang yang sudah lama berkutat dalam bisnis beras.
Misalkan Akong (dan pedagang beras lain di pasar Lomo) membeli beras rojolele seharga Rp 9.000. Karena harga jual di pasar Lomo harus kelipatan Rp 500�kalau Akong mau untung�ia harus menjual minimum di 9500. Ia tidak bisa membandrol harga di 9100, 9200, 9300, atau 9400. Tapi Akong tidak keberatan dengan aturan ini karena pedagang beras lainpun�kalau mereka mau untung�harus menjual di harga 9.500. Dengan aturan ini, semua pedagang beras bisa mendapat untung minimum Rp 500.
Nah, kalau otoritas pasar Lomo memutuskan merubah peraturan kelipatan harga 500 menjadi kelipatan 100, menurut anda, bagaimana reaksi Akong dan pedagang beras lainnya di pasar Lomo? Apakah mereka bersorak-sorai menyambut gembira keputusan ini?
Tentu saja tidak.
Akong dan konco-konconya bukannya gembira tapi malah marah. Malah protes.
Mengapa?
Karena dengan kelipatan harga 500 mereka bisa meraup untung lebih banyak dan lebih mudah daripada kelipatan 100. Karena dengan kelipatan harga 500 mereka tidak perlu bersaing jor-joran harga antar pedagang. Kalau bisa untung 500, kenapa mau untung cuma 100? Kalau kondisi lama sudah nyaman, kenapa harus dirubah?
Begitulah kira-kira mengapa pemain saham lama memprotes keras perubahan kelompok harga dan fraksi harga.
Tapi masalahnya tidak selesai di situ. Selain mempersulit pemain lama meraup untung, fraksi harga baru juga mempersulit "bandar" saham melakukan aksinya di bursa saham.
Aksi bandar apa saja yang terganggu perubahan fraksi harga saham? Mau tahu? Silahkan lanjut baca ke pos "Dampak Perubahan Satuan Lot & Fraksi Harga Saham (Bagian 3)."
Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini �2014 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]
Sekarang saatnya kita membahas hal yang lebih ruwet, perubahan fraksi harga saham dan dampaknya bagi pemain saham.
Tabel 1. Perubahan Satuan Perdagangan (Lot Size) dan Fraksi Harga BEI Efektif 6 Januari 2014 |
Perubahan Fraksi Harga
Tindakan Bursa Efek Indonesia merubah kelompok harga dari 5 kelompok (dan 5 fraksi harga) menjadi 3 kelompok (dan 3 fraksi harga) secara langsung mempersempit "spread" (perbedaan) harga. Dengan kata lain: jenjang harga kelompok harga baru akan lebih sempit dibandingkan dengan jenjang harga kelompok harga lama.
Agar lebih jelas, mari kita bandingkan persentase lompatan (jenjang) harga kelompok harga lama dan kelompok harga baru.
Jenjang harga pada kelompok harga lama adalah sebagai berikut:
50 ke 51 = 2%
200 ke 205 = 2.5%
500 ke 510 = 2%
2000 ke 2025 = 1.25%
5000 ke 5050 = 1%
Jenjang harga pada kelompok harga baru:
50 ke 51 = 2%
200 ke 201 = 0.5% (masih termasuk kelompok harga < 500)
500 ke 505 = 1%
2000 ke 2005 = 0.25% (masih termasuk kelompok harga <5000)
5000 ke 5025 = 0.5%
Anda bisa melihat bahwa�secara umum�lompatan harga (dalam persentase) pada kelompok harga baru lebih kecil daripada pada kelompok harga lama.
Apa artinya bagi anda (dan saya)?
Artinya pada kelompok harga baru, anda (mungkin) bisa membeli saham LEBIH MURAH dan (mungkin) bisa menjual saham LEBIH MAHAL dibandingkan pada kelompok harga lama.
Masa iye, sih, pikir anda dalam hati.
Ilustrasi berikut akan memperjelas pernyataan di atas.
Misalkan Cecep mau membeli beras dan pergi ke pasar Lomo. Tiba di pasar Lomo, Cecep melihat sederetan toko beras di dekat gerbang pasar. Cecep menghampiri Tancu, toko beras yang menempati 8 kios tapi kelihatan sesak karena penuh dengan beras berkarung-karung.
"Ko, beras rojolele satu kilo berapa?" tanya Cecep.
"10.000," jawab ko Akong, si empunya toko.
"Kurangin dong, ko."
"Kalau ambil banyak, 9.500," jawab ko Akong sambil mengibas-ngibaskan koran ke wajahnya mengusir hawa panas.
"9.200 boleh, ko?" kata Cecep berusaha menawar.
"Gak bisa lah. Di pasar ini, harga beras harus dalam kelipatan 500."
"Lho, kok gitu?" kata Cecep sambil menggaruk-garuk kepala (yang memang gatal karena banyak ketombenya).
"Iya," jawab ko Akong. " Memang aturannya begitu. Harga beras di sini sekilo harus kelipatan 500. Kalau lebih murah dari 9.500 berarti owe harus jual 9.000. Rugi lah. 9.500 udah murah kok."
Cecep makin bingung; makin keras ia menggaruk kepalanya.
Setelah mengucapkan terima kasih Cecep mampir ke toko beras lain di pasar Lomo. Semua sama saja: Harga termurah tetap 9.500, harga beras harus dalam kelipatan 500, dan tidak ada toko yang mau jual di harga 9.000. Makin keras Cecep menggaruk kepalanya.
Sebelum rambutnya rontok lebih banyak, Cecep memutuskan untuk mengunjungi pasar Waru yang lokasinya sekitar 800 meter dari pasar Lomo. Sampai di pasar Waru, Cecep menghampiri toko beras Wangi. Tokonya relatif kecil tapi terlihat rapi dan bersih.
"Bu, beras rojolele sekilo berapa?" tanya Cecep pada penjaga toko.
"Rojolele? 9.500 sekilonya," jawab si ibu.
"9.000 boleh, bu?" kata Cecep.
"Belum bisa, dik. 9.400 deh, udah murah."
"9.150 ya?"
"Gak bisa, dik. 9.400 udah murah kok. Lagipula harga beras di pasar ini harus dalam kelipatan 100," kata si ibu.
"Ooo...," kata Cecep dengan bibir memancung, tangan kanannya mengusap kening, tangan kiri mengelus dada. Kening dan dadanya sendiri tentu saja. Bukan kening dan dada ibu penjaga toko. Lanjutnya, "Kalau gitu, 9.200 ya bu."
"Habisnya 9.300 deh, penglaris."
Cecep tidak habis pikir. Di pasar Lomo tawar-menawar harus dalam kelipatan 500; di pasar Waru kelipatan 100. Tapi Cecep cukup puas dengan harga 9.300 dan membeli beras rojolele sebanyak 10 kilogram.
Pertanyaan saya untuk anda: kalau misalkan anda adalah si Cecep, anda memilih membeli beras di pasar Lomo atau pasar Waru?
Saya yakin anda akan memilih membeli beras di pasar Waru yang memakai kelipatan harga 100 karena�seperti Cecep�anda (kemungkinan besar) bisa membeli beras lebih murah daripada di pasar Lomo yang memakai kelipatan harga 500.
Nah, kalau kita bandingkan ilustrasi di atas dengan transaksi saham, proses tawar-menawar di pasar Lomo adalah seperti transaksi saham dengan kelompok harga lama; proses tawar-menawar di pasar Waru adalah seperti transaksi saham dengan kelompok harga baru. Kalau dulu membeli saham harus di harga 200 atau 205, sekarang anda bisa beli di harga 200, 201, 202, 203, 204, atau 205.
Anda sekarang mengerti bahwa mengecilnya kelipatan/jenjang harga membuka peluang pembentukan harga yang lebih baik untuk pembeli dan penjual. Pembentukan harga yang lebih baik ini diharapkan akan membuat pasar lebih efisien.
Tapi, kalau fraksi harga baru lebih menguntungkan untuk pembeli dan juga membuat pasar lebih efisien, kenapa banyak pemain saham lama yang protes?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita kembali ke ilustrasi di atas dan melihat dari sudut pandang Akong, pedagang yang sudah lama berkutat dalam bisnis beras.
Misalkan Akong (dan pedagang beras lain di pasar Lomo) membeli beras rojolele seharga Rp 9.000. Karena harga jual di pasar Lomo harus kelipatan Rp 500�kalau Akong mau untung�ia harus menjual minimum di 9500. Ia tidak bisa membandrol harga di 9100, 9200, 9300, atau 9400. Tapi Akong tidak keberatan dengan aturan ini karena pedagang beras lainpun�kalau mereka mau untung�harus menjual di harga 9.500. Dengan aturan ini, semua pedagang beras bisa mendapat untung minimum Rp 500.
Nah, kalau otoritas pasar Lomo memutuskan merubah peraturan kelipatan harga 500 menjadi kelipatan 100, menurut anda, bagaimana reaksi Akong dan pedagang beras lainnya di pasar Lomo? Apakah mereka bersorak-sorai menyambut gembira keputusan ini?
Tentu saja tidak.
Akong dan konco-konconya bukannya gembira tapi malah marah. Malah protes.
Mengapa?
Karena dengan kelipatan harga 500 mereka bisa meraup untung lebih banyak dan lebih mudah daripada kelipatan 100. Karena dengan kelipatan harga 500 mereka tidak perlu bersaing jor-joran harga antar pedagang. Kalau bisa untung 500, kenapa mau untung cuma 100? Kalau kondisi lama sudah nyaman, kenapa harus dirubah?
Begitulah kira-kira mengapa pemain saham lama memprotes keras perubahan kelompok harga dan fraksi harga.
Tapi masalahnya tidak selesai di situ. Selain mempersulit pemain lama meraup untung, fraksi harga baru juga mempersulit "bandar" saham melakukan aksinya di bursa saham.
Aksi bandar apa saja yang terganggu perubahan fraksi harga saham? Mau tahu? Silahkan lanjut baca ke pos "Dampak Perubahan Satuan Lot & Fraksi Harga Saham (Bagian 3)."
Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini �2014 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]
Comments
Post a Comment