Anda baru saja selesai membaca buku tentang Warren Buffet, tentang bagaimana ia menjadi salah satu investor terkaya di dunia karena menerapkan investasi jangka panjang "value investing."
Terinspirasi buku tersebut, anda memutuskan untuk mengikuti jejak Warren Buffet menjadi "value investor". Mulailah anda menyelami analisa fundamental untuk mencari saham yang value/nilai-nya murah. (Silahkan baca pos "Apa Inti Analisa Fundamental.")
Anda mengumpulkan data-data perusahaan, membaca laporan keuangan, menghitung rasio finansial. Setelah 3 bulan kurang tidur melakukan semua hal ini, anda menemukan saham PT Bagus Murah (kode saham PTBM) seharga Rp 2000 per lembar yang menurut anda memenuhi kriteria "value investing."
Keesokan harinya, anda memasukkan order untuk membeli saham PTBM di harga 1950. Sebelum sesi perdagangan selesai, order beli anda terlaksana.
"Ah, PTBM," pikir anda, "engkau adalah langkah pertamaku untuk menjadi Warren Buffet Indonesia."
Nah, sambil menunggu cita-cita anda terwujud, izinkan saya bertanya: pernahkah anda memikirkan, kalau PTBM "value"nya murah di Rp 2000, kenapa anda bisa mendapatkan saham tersebut bahkan di bawah harga yang�menurut anda�murah tersebut?
Yang pasti bukan karena anda pintar membujuk penjual untuk memberi diskon. Toh, membeli saham di bursa tidak ada interaksi langsung anda penjual dan pembeli.
Juga bukan karena saham PTBM yang anda dapatkan adalah saham KW(kualitas)2 atau KW3 karena saham tidak ada KW1 atau KW2 atau KW3: semua saham KWnya sama.
Kalau begitu, apa penyebab anda bisa membeli PTBM di harga yang�menurut anda�nilainya murah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, anda terlebih dulu perlu tahu definisi "value." Nah, Jean V. Dubois mendefinisikan "value" suatu benda sebagai berikut:
" . . . . The value of thing is always relative to a particular person, is completely personal and different in quantity for each living human�'market value' is a fiction, merely a rough guess at the average of personal values, all of which must be quantitatively different or trade would be impossible."
Bahasa Indonesianya kira-kira begini:
Nilai suatu benda selalu tergantung pada masing-masing individu, adalah sepenuhnya personal dan berbeda kuantitasnya untuk setiap manusia�'nilai pasar' adalah fiksi, hanyalah tebakan kasar dari rata-rata nilai menurut setiap individu, yang mana kuantitasnya harus berbeda atau jual-beli tidak mungkin terjadi.
Dalam konteks main saham, definisi di atas menyatakan bahwa anda bisa mendapatkan saham yang�menurut anda�nilainya murah HANYA KALAU ada individu-individu lain yang menjual saham tersebut.
Nah, mengapa individu-individu tersebut bersedia menjual di harga�yang menurut anda�murah? Apakah karena mereka murah hati? Apakah karena mereka ingin anda menjadi Warren Buffet Indonesia?
Tentu saja tidak.
Alasan mereka menjual di harga tersebut adalah karena menurut mereka harga saham tersebut nilainya mahal. Oke, kalaupun tidak mahal, setidak-tidaknya tidak murah.
Kok begitu?
Karena kalau semua pemain saham merasa bahwa nilai saham tersebut murah, tidak ada seorangpun yang menjual dan anda tidak akan mendapatkan saham di harga tersebut.
Nah, menurut anda (pembeli) harganya murah; menurut penjual harganya tidak murah. Jadi, siapa yang benar?
Pertanyaan tersebut akan terjawab hanya dengan berjalannya waktu.
Artinya, kalau di masa depan harga saham PTBM naik, berarti valuasi si pembeli yang benar. Kalau di masa depan harga saham PTBM turun, berarti valuasi si penjual yang benar.
Oke, mari kita misalkan dulu bahwa saham naik: anda yang benar. Kalau hal ini terjadi, cerita selesai. Cita-cita anda menjadi Warren Buffet bisa segera menjadi kenyataan.
Tapi, menurut anda sejujurnya, berapa besar kemungkinan hal ini terjadi?
Anda seorang "value investor" pemula yang masih hijau, baru saja menyelami analisa fundamental selama beberapa bulan, baru pertama kali membeli saham. Penjual bisa saja sudah main saham puluhan tahun, mungkin juga adalah investor yang kantongnya tebal, yang sudah mengerti analisa fundamental dan teknikal luar-dalam sebelum anda lahir.
Nah, berapa besar kemungkinan bahwa anda yang benar?
Kalau anda objektif, anda akan menjawab, "Kemungkinannya kecil."
Setuju.
Oke, mari kita lanjut dengan kemungkinan kedua: saham turun, berarti penjual yang benar. Kalau hal ini yang terjadi, anda menghadapi masalah besar pertama anda sebagai "value investor."
Masalah besar? Masalah besar gimana?
Mari kita bahas.
Menurut analisa anda saham PTBM nilainya murah di harga Rp 2000. Tapi setelah anda beli, PTBM bukannya naik tapi malahan turun. Dan turunnya tidak tanggung-tanggung; dalam 3 bulan PTBM turun dari harga beli anda di 1950 ke 1500.
Nah, harga PTBM yang turun menandakan bahwa valuasi anda salah. Apa yang seharusnya anda lakukan kalau anda salah?
Kalau anda salah, seharusnya anda cut-loss. (Silahkan baca pos "Cara Cut-Loss Untuk Stop Kerugian Saham.")
Masalahnya, analisa fundamental hampir TIDAK PERNAH secara gamblang menganjurkan cut-loss. Oleh sebab itu, banyak "value investor" pemula yang menyimpulkan bahwa investasi jangka panjang tidak perlu cut-loss, bahwa kalau harga saham turun, langkah selanjutnya adalah menunggu. Menunggu apa? Menunggu harga saham naik. (Silahkan baca pos "Arti Istilah 'Trading Plan'.")
Menunggu saham naik bisa menjadi masalah besar untuk investor jangka panjang. Tapi masih ada masalah lain yang lebih berbahaya lagi karena cukup banyak "value investor" yang "cerdas" memakai logika.
Logika yang mereka pakai bunyinya begini: kalau PTBM murah nilainya di 2000, bukankah PTBM di harga 1500 berarti nilainya LEBIH MURAH lagi? Kalau lebih murah, bukankah sebaiknya ia membeli lagi PTBM di harga yang lebih murah ini?
Tindakan membeli lagi di harga lebih murah biasa disebut dengan istilah "averaging down." (Silahkan baca pos "Arti Istilah 'Averaging Down' Saham.")
Masalahnya, bagaimana kalau setelah anda "average down" PTBM di harga 1500, harga PTBM melanjutkan anjloknya, katakanlah, ke harga 1000. Kalau 1950 murah, 1500 lebih murah, bukankah 1000 SANGAT LEBIH MURAH? Kalau sangat lebih murah, bukankah seharusnya anda beli LEBIH BANYAK lagi di harga 1000?
Kalau setelah ke-sekian kali anda "average down" lalu harga PTBM naik, anda mungkin bisa balik modal atau bahkan untung. Tapi bagaimana kalau PTBM turun anda "average down", PTBM masih turun anda tetap "average down", dan PTBM masih saja turun dan anda sudah tidak punya uang untuk "average down" lagi?
Pada saat itu saya yakin anda mulai menerima kenyataan pahit bahwa "value investing" tidak semudah yang anda bayangkan. Dan cita-cita anda untuk menjadi Warren Buffet Indonesia harus ditunda dulu untuk beberapa saat.
Pesan yang ingin saya sampaikan di pos ini adalah:
Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini �2014 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]
Terinspirasi buku tersebut, anda memutuskan untuk mengikuti jejak Warren Buffet menjadi "value investor". Mulailah anda menyelami analisa fundamental untuk mencari saham yang value/nilai-nya murah. (Silahkan baca pos "Apa Inti Analisa Fundamental.")
Anda mengumpulkan data-data perusahaan, membaca laporan keuangan, menghitung rasio finansial. Setelah 3 bulan kurang tidur melakukan semua hal ini, anda menemukan saham PT Bagus Murah (kode saham PTBM) seharga Rp 2000 per lembar yang menurut anda memenuhi kriteria "value investing."
Keesokan harinya, anda memasukkan order untuk membeli saham PTBM di harga 1950. Sebelum sesi perdagangan selesai, order beli anda terlaksana.
"Ah, PTBM," pikir anda, "engkau adalah langkah pertamaku untuk menjadi Warren Buffet Indonesia."
Nah, sambil menunggu cita-cita anda terwujud, izinkan saya bertanya: pernahkah anda memikirkan, kalau PTBM "value"nya murah di Rp 2000, kenapa anda bisa mendapatkan saham tersebut bahkan di bawah harga yang�menurut anda�murah tersebut?
Yang pasti bukan karena anda pintar membujuk penjual untuk memberi diskon. Toh, membeli saham di bursa tidak ada interaksi langsung anda penjual dan pembeli.
Juga bukan karena saham PTBM yang anda dapatkan adalah saham KW(kualitas)2 atau KW3 karena saham tidak ada KW1 atau KW2 atau KW3: semua saham KWnya sama.
Kalau begitu, apa penyebab anda bisa membeli PTBM di harga yang�menurut anda�nilainya murah?
Untuk menjawab pertanyaan ini, anda terlebih dulu perlu tahu definisi "value." Nah, Jean V. Dubois mendefinisikan "value" suatu benda sebagai berikut:
" . . . . The value of thing is always relative to a particular person, is completely personal and different in quantity for each living human�'market value' is a fiction, merely a rough guess at the average of personal values, all of which must be quantitatively different or trade would be impossible."
Bahasa Indonesianya kira-kira begini:
Nilai suatu benda selalu tergantung pada masing-masing individu, adalah sepenuhnya personal dan berbeda kuantitasnya untuk setiap manusia�'nilai pasar' adalah fiksi, hanyalah tebakan kasar dari rata-rata nilai menurut setiap individu, yang mana kuantitasnya harus berbeda atau jual-beli tidak mungkin terjadi.
Dalam konteks main saham, definisi di atas menyatakan bahwa anda bisa mendapatkan saham yang�menurut anda�nilainya murah HANYA KALAU ada individu-individu lain yang menjual saham tersebut.
Nah, mengapa individu-individu tersebut bersedia menjual di harga�yang menurut anda�murah? Apakah karena mereka murah hati? Apakah karena mereka ingin anda menjadi Warren Buffet Indonesia?
Tentu saja tidak.
Alasan mereka menjual di harga tersebut adalah karena menurut mereka harga saham tersebut nilainya mahal. Oke, kalaupun tidak mahal, setidak-tidaknya tidak murah.
Kok begitu?
Karena kalau semua pemain saham merasa bahwa nilai saham tersebut murah, tidak ada seorangpun yang menjual dan anda tidak akan mendapatkan saham di harga tersebut.
Nah, menurut anda (pembeli) harganya murah; menurut penjual harganya tidak murah. Jadi, siapa yang benar?
Pertanyaan tersebut akan terjawab hanya dengan berjalannya waktu.
Artinya, kalau di masa depan harga saham PTBM naik, berarti valuasi si pembeli yang benar. Kalau di masa depan harga saham PTBM turun, berarti valuasi si penjual yang benar.
Oke, mari kita misalkan dulu bahwa saham naik: anda yang benar. Kalau hal ini terjadi, cerita selesai. Cita-cita anda menjadi Warren Buffet bisa segera menjadi kenyataan.
Tapi, menurut anda sejujurnya, berapa besar kemungkinan hal ini terjadi?
Anda seorang "value investor" pemula yang masih hijau, baru saja menyelami analisa fundamental selama beberapa bulan, baru pertama kali membeli saham. Penjual bisa saja sudah main saham puluhan tahun, mungkin juga adalah investor yang kantongnya tebal, yang sudah mengerti analisa fundamental dan teknikal luar-dalam sebelum anda lahir.
Nah, berapa besar kemungkinan bahwa anda yang benar?
Kalau anda objektif, anda akan menjawab, "Kemungkinannya kecil."
Setuju.
Oke, mari kita lanjut dengan kemungkinan kedua: saham turun, berarti penjual yang benar. Kalau hal ini yang terjadi, anda menghadapi masalah besar pertama anda sebagai "value investor."
Masalah besar? Masalah besar gimana?
Mari kita bahas.
Menurut analisa anda saham PTBM nilainya murah di harga Rp 2000. Tapi setelah anda beli, PTBM bukannya naik tapi malahan turun. Dan turunnya tidak tanggung-tanggung; dalam 3 bulan PTBM turun dari harga beli anda di 1950 ke 1500.
Nah, harga PTBM yang turun menandakan bahwa valuasi anda salah. Apa yang seharusnya anda lakukan kalau anda salah?
Kalau anda salah, seharusnya anda cut-loss. (Silahkan baca pos "Cara Cut-Loss Untuk Stop Kerugian Saham.")
Masalahnya, analisa fundamental hampir TIDAK PERNAH secara gamblang menganjurkan cut-loss. Oleh sebab itu, banyak "value investor" pemula yang menyimpulkan bahwa investasi jangka panjang tidak perlu cut-loss, bahwa kalau harga saham turun, langkah selanjutnya adalah menunggu. Menunggu apa? Menunggu harga saham naik. (Silahkan baca pos "Arti Istilah 'Trading Plan'.")
Menunggu saham naik bisa menjadi masalah besar untuk investor jangka panjang. Tapi masih ada masalah lain yang lebih berbahaya lagi karena cukup banyak "value investor" yang "cerdas" memakai logika.
Logika yang mereka pakai bunyinya begini: kalau PTBM murah nilainya di 2000, bukankah PTBM di harga 1500 berarti nilainya LEBIH MURAH lagi? Kalau lebih murah, bukankah sebaiknya ia membeli lagi PTBM di harga yang lebih murah ini?
Tindakan membeli lagi di harga lebih murah biasa disebut dengan istilah "averaging down." (Silahkan baca pos "Arti Istilah 'Averaging Down' Saham.")
Masalahnya, bagaimana kalau setelah anda "average down" PTBM di harga 1500, harga PTBM melanjutkan anjloknya, katakanlah, ke harga 1000. Kalau 1950 murah, 1500 lebih murah, bukankah 1000 SANGAT LEBIH MURAH? Kalau sangat lebih murah, bukankah seharusnya anda beli LEBIH BANYAK lagi di harga 1000?
Kalau setelah ke-sekian kali anda "average down" lalu harga PTBM naik, anda mungkin bisa balik modal atau bahkan untung. Tapi bagaimana kalau PTBM turun anda "average down", PTBM masih turun anda tetap "average down", dan PTBM masih saja turun dan anda sudah tidak punya uang untuk "average down" lagi?
Pada saat itu saya yakin anda mulai menerima kenyataan pahit bahwa "value investing" tidak semudah yang anda bayangkan. Dan cita-cita anda untuk menjadi Warren Buffet Indonesia harus ditunda dulu untuk beberapa saat.
Pesan yang ingin saya sampaikan di pos ini adalah:
- Value investing sangat sulit, tidak semudah penjelasan di buku atau seminar tentang Warren Buffet.
- Anda bisa mendapatkan saham yang menurut anda nilainya murah HANYA KALAU ada individu lain yang menganggap saham itu nilainya mahal (atau setidak-tidaknya tidak murah).
- Saham yang menurut anda nilainya murah bisa turun dan menjadi lebih murah lagi.
- Cut-loss bukan hanya harus dilakukan untuk trading saham jangka pendek tapi juga harus dilakukan untuk investasi saham jangka panjang.
- Terus membeli saham yang sedang terus turun karena menurut anda nilainya semakin murah adalah tindakan bodoh.
Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini �2014 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]
Comments
Post a Comment