Skip to main content

Arti Istilah "Marked-to-Market"

Apa arti istilah Marked-to-Market?

marked = ditandai, dinilai
(according) to = sesuai dengan
market (price) = harga pasar

Jadi, bahasa Indonesia "marked-to-market" kira-kira adalah: dinilai sesuai dengan harga pasar. (Catatan: Biasanya, yang dimaksud dengan harga pasar adalah harga pasar terkini.)

Apa maksudnya?

Mari kita lihat contoh berikut ini:

Misalkan anda mau menggunakan konsep "marked-to-market" untuk menilai portofolio saham. Nah, nilai portofolio anda adalah nilai dengan harga pasar terkini. Bukan nilai sesuai harga beli.

Artinya kalau anda punya 10.000 lembar saham KRAS yang anda beli di harga Rp 1.000�nilai beli Rp 10 juta�dan harga KRAS terkini adalah Rp 600, nilai KRAS anda secara "marked-to-market" adalah Rp 6 juta.

Bukan Rp 10 juta.

Pada contoh di atas, secara "marked-to-market," posisi saham KRAS anda adalah rugi Rp 4juta. 

"Tapi bung Iyan," kata anda, "saham KRAS tersebut kan belum saya jual. Kenapa perlu dihitung secara 'marked-to-market'?"

Nah, jawaban saya untuk pertanyaan bisa anda baca di pos "SahamTurun, Tidak Dijual. Sudah Rugi atau Belum?"

Mengapa anda perlu tahu konsep "marked-to-market"?

Karena mayoritas pemain saham�dari pemula sampai senior�menilai portofolio saham sesuai dengan harga beli.

Nah, dengan menilai portofolio berdasarkan harga beli berarti kalau harga saham turun dan saham belum dijual, mereka menganggap belum rugi.

Masalahnya, anggapan "belum rugi kalau belum jual" inilah yang biasanya membuat pemain saham TIDAK MAU/TIDAK RELA cut-loss. Kalau belum dijual kan belum rugi, pikir mereka, jadi kalau posisi rugi ya jangan dijual. Tunggu saja sampai harga naik, baru deh dijual.

Tapi fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah kalau mereka harus jual sekarang, posisi mereka rugi.

Bagaimana kalau harga saham naik?

Masalah juga.

Kok bisa?

Banyak pemain saham (termasuk saya, kadang-kadang)�yang menilai harga saham sesuai dengan harga beli�merasa sudah untung kalau harga saham di atas harga beli. Walaupun saham belum dijual. Selama harga saham masih di atas harga beli, tidak perlu khawatir toh?

Masalahnya, bisa saja harga saham sempat naik, tidak dijual, lalu harga saham turun perlahan-lahan sampai di bawah harga beli. Karena sudah di bawah harga beli, faktanya adalah posisi sudah berubah dari untung menjadi rugi.

Kalau dari untung berubah jadi rugi, gimana dong?

Dengan menggunakan logika "kalau belum dijual berarti belum rugi" mereka tetap HOLD saham tersebut. Lagi-lagi mereka berpikir: tunggu saja sampai harga naik, baru deh dijual.

Kalau rugi, tidak mau cut-loss

Kalau untung, tidak mau jual.

Kalau dari untung berubah menjadi rugi, lebih-lebih lagi tidak mau cut-loss.

Dari contoh di atas bisa anda bayangkan sendiri mengapa mayoritas pemain saham rugi.


---###$$$###---


Jadi, apakah ini berarti sebaiknya anda memakai konsep "marked-to-market"?

Secara umum, jawaban saya adalah: Iyo.

(Tapi, seperti yang sering saya katakan, tidak ada yang absolut ketika bermain saham. Ada kalanya, konsep "marked-to-market" tidak tepat untuk digunakan.)

Dengan "marked-to-market," anda SELALU menilai portofolio saham anda pada harga NYATA terkini. Jadi anda tahu dengan pasti nilai portofolio saham sesungguhnya.

Mau tahu cara menggunakan konsep "marked-to-market" dalam bermain saham? Silahkan baca pos "Langkah Pertama 'Marked-to-Market' Portofolio Saham Anda." [Belum terbit. Mohon berkunjung kembali.]






Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini 2017 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Comments

Popular posts from this blog

Arti Istilah Earning Per Share (EPS)

Earning Per Share, biasanya disingkat EPS, artinya adalah Laba (Bersih) Per Saham. Nah, mengapa anda perlu tahu Laba Per Saham ? Andaikan anda tahu bahwa Laba keseluruhan P.T. Ciputra Development (CTRA), misalnya, Rp 200 milyar, tidakkah informasi tersebut sudah cukup? Tidak. Tidak cukup. Untuk memahami mengapa tidak cukup hanya mengetahui Laba Total perusahaan, mari kita lihat ilustrasi berikut: Ketika sedang mengendari motor menuju rumah, Roseta melihat sebuah truk penuh durian sedang berhenti di pinggir jalan. Harum sekali aromanya. Sebagai seorang pecinta berat durian, Roseta tidak henti-hentinya menghirup dalam-dalam semerbak buah berduri tersebut. Ia meminggirkan motornya dan menyapa si bapak pengemudi truk yang sedang duduk santai mengisap rokok. "Pak, duriannya dijual gak?" tanya Roseta. "Iya, neng. Dijual." jawab si bapak. "Satu harganya berapa, Pak?" tanya Roseta lebih lanjut. "Satu truk penuh, saya mau jual Rp 5 juta," jawab si

Cara Menghitung Harga Teoritis Ex Saham Bonus

Di pos "Mengapa 'Saham Bonus' Bukan Bonus" saya menyatakan bahwa setelah Ex Saham Bonus, harga saham harus diSESUAIkan � karena jumlah saham bertambah dengan adanya saham bonus � agar NILAI RUPIAH saham tersebut tetap sama sebelum dan sesudah Ex Saham Bonus. Nah, di pos ini saya akan menjelaskan bagaimana cara menghitung harga saham yang telah disesuaikan ini. Dengan kata lain, kita akan mempelajari cara menghitung harga Close teoritis setelah Ex Saham Bonus. Untuk mempermudah diskusi, mari kita lihat contoh kasus saham bonus PT. Indospring (INDS) berikut: Nama saham: INDS   Rasio Saham Bonus: 4 saham lama mendapat 1 saham baru   Cum Saham Bonus: 02 Juli 2014 Ex Saham Bonus: 03 Juli 2014 Harga Close INDS pada Cum Saham Bonus: Rp 2.905.   Pertanyaannya: berapakah harga teoritis Close INDS saat Ex Saham Bonus?  Untuk menghitung harga teoritis Ex Saham Bonus, hal pertama yang harus anda perhatikan adalah RASIO saham lama dan saham baru. Pada kasus INDS, rasio saham la

Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula, Bagian 5

Pos ini adalah lanjutan dari "Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula, Bagian 4." (Kalau anda ingin membaca seri ini dari awal silahkan klik di sini "Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula, Bagian 1." ) Membandingkan harga Close dengan Open akan tergantung pada kondisi Open. Perlu anda ingat kembali bahwa ada tiga kemungkinan kondisi Open: Open Di Atas Prv Price (Open > Prv Price) Open Di Prv Price (Open = Prv Price) Open Di Bawah Prv Price (Open < Prv Price) Dengan adanya tiga kemungkinan kondisi Open ini, dan juga karena adanya tiga kemungkinan Close (Close Di Atas Open, Close Di Open, Close Di Bawah Open), membandingkan Close vs. Open menghasilkan sembilan skenario yang berbeda.   Mari kita teliti satu per satu. 1. Open Di Atas Prv Price (Open > Prv Price)   Kondisi ini sendiri adalah relatif Bullish.   a.  Close > Open (> Prv Price)   Kalau Close di atas harga Open, saham tersebut relatif Bullish; ranking 1 Bullish di antara semua kondisi nomor 1. Pad